KONSEP MA’RIFAT AL-GHAZALI


A. Biografi Singkat Al-Ghazali

Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin ta’us Ath-thusi Asy-Syafi’i Al-Ghazali, lahir di Ghazaleh--sebuah kota kecil dekat Thus di Khurasan --pada tahun 450 H/1058 M. Ia dipanggil Al-Ghazali karena ia lahir di Ghazalah suatu kota di Kurasan, Iran, tahun 450 H/1058 M, ayahnya seorang pemintal kain wol miskin yang taat, pada saat ayahnya menjelang wafat Al Ghazali dan adiknya yang bernama Ahmad dititipkan kepada seorang sufi.[2]

Setelah lama tinggal bersama sufi itu, Al-Ghazali dan adiknya disarankan untuk belajar pada pengelola sebuah madrasah, sekaligus untuk menyambung hidup mereka, di sana ia mempelajari ilmu fiqih kepada Ahmad bin Muhammad Ar-Rizkani, kemudian ia memasuki sekolah tinggi Nizhamiyah di Naisabur dan berguru kepada Imam Haramain (Al-Juwaini) hingga menguasi ilmu manthiq, ilmu kalam, fiqh, ushul fiqh, filsafat, tasawuf dan retorika perdebatan, tak hanya itu ia pun mengisi waktu belajarnya dengan belajar teori-teori tasawuf kepada Yusuf An-Nasaj Imam Haramani menjuluki Al-Ghazali dengan sebutan Bahr Mu’riq (lautan yang menghanyutkan) kemahirannya dalam menguasi ilmu didapatnya, termasuk perbedaan pendapat dari para ahli ilmu serta mampu memberikan sanggahan-sanggahan kepada para penentangnya.
Setelah Imam Haramani Wafat (478 H/1068 M) Al-Ghazali pergi ke Baghdad, yaitu tempat berkuasanya Perdana Menteri Nizham Al-Muluk (wafat 485 H/1091 M).[3] Pada tahun 483 H/1090 M ia diangkat oleh Nizam Al-Muluk menjadi guru besar di Universitas. Selama di Baghdad Al-Ghazali menderita keguncangan batin sebagai akibat sikap keragu-raguan akan pencarian kebenaran yang hakiki, kemudian ia pun memutuskan untuk melepaskan jabatannya dan meninggalkan Baghdad menuju Syiria, Palestina dan kemudian ke Mekah untuk mencari kebenaran yang hakiki yang selama ini dicarinya, setelah ia memperolehnya maka tidak lama kemudian ia menghembuskan nafas terakhirnya di Thus pada tanggal 19 Desember 1111 M/14 Jumadil Akhir tahun 505 H dengan meninggalkan banyak karya tulisnya. Dalam seluruh hidupnya, baik sebagai penasihat kerajaan maupun sebagai guru besar di Bagdad, baik sewaktu mulai dalam skeptis di Naisabur maupun setelah berada dalam keyakinan yang mantap, ia tetap aktif mengarang.[4]
Al-Ghazali banyak meninggalkan karya tulis menurut Sulaiman Dunya, karangan Al-Ghazali mencapai 300 buah, ia mulai mengarang pada usia 25 tahun, sewaktu masih di Nasisabur dan ia mempergunakan waktu 30 tahun untuk mengarang yang meliputi beberapa bidang ilmu pengetahuan antara lain, filsafat, ilmu kalam, fiqh, ushul fiqh, tafsir, tasawuf dan akhlaq.

  1. Konsep Ma’rifat Al-Ghozali

Menurut Al-Ghazali, ma’rifat adalah mengetahui rahasia Allah dan mengetahui peraturan-peraturan Tuhan tentang segala yang ada.[5] Alat untuk memperoleh ma’rifat bersandar pada sir-qolb dan roh. Pada saat sir, qalb dan roh Harun Nasution menjelaskan pendapat Al-Ghazali yang di kutip dari Al-Qusyairi bahwa qalb dapat mengetahui hakikat segala yang ada. Jika di limpahi cahaya Tuhan qalb dapat mengetahui rahasia-rahasia Tuhan dengan sir, qalb dan roh yang telah suci dan kosong itu dilimpahi cahaya Tuhan dan dapat mengetahui rahasia-rahasia Tuhan, kelak keduanya akan mengalami iluminasi (kasyf) dari Allah dengan menurunkan cahayanya kepada sang sufi sehingga yang dilihatnya hanyalah Allah, di sini sampailah ia ke tingkat ma’rifat.[6]

Ma'rifat adalah kondisi (hal) yang bermuara dari upaya-upaya mujahadat dan menghapus sifat-sifat yang jelek, pemutusan semua hubungan dengan makhluk, serta penghadapan inti/hakikat cita-cita kepada Allah yang dilakukan oleh seseorang. Dalam kondisi ini, maka Allah kemudian hadir dan mengisi hati orang tersebut dan kemudian Allah memenuhi hati orang tersebut dengan rahmat, memancarkan nur-Nya, melapangkan dada, membuka padanya rahasia alam malakut, tersingkaplah dari hati orang tersebut kelengahan sebab kelembutan rahmat-Nya, serta berkilauanlah disana hakikat masalah-masalah ilahiyat.

Perjalanan seseorang menuju ma'rifat berangkat dari keyakinan seseorang yang kemudian melalui upaya-upaya yang tidak mudah, seseorang melakukan perjalanan naik/perkembangan positif dalam kondisi internalnya dalam bentuk maqam.
Keyakinan seseorang mengindikasikan kekuatan imannya kepada Allah, hari akhir, surga dan neraka. Setelah keyakinan ini, seseorang naik kepada maqam berikutnya yaitukhaufdanraja'.
Berikutnya tahap Shabr, yang menghantar kepada satu tahap diatasnya yaitu mujahadah, dzikr, dan tafakkur. Dzikir mengantarkan kepada tahap uns. Tafakkur menghantarkan kepada sempurnanya ma'rifat. Sempurnanya ma'rifat dan uns menghantar kepada mahabbah. Mahabbah menyebabkan kerelaan sesorang atas segala tindakan yang dicintainya dan percaya akan pertolongannya. Ini adalah tawakkal.[7]
Dalam kaitan dengan ma'rifat, ada dua term yang sering disebutkan oleh al-Ghazali yaitu ma'rifat al-dzat dan ma'rifat al-sifat. Pengertian ma'rifat al-dzat adalah pengetahuan bahwa-sanya Allah adalah dzat maujud, tunggal (fard), esa (wahid), dan sesuatu yang agung yang tegak dengan dirinya serta tidak diserupai oleh sesuatu apapun. Sedangkan ma'rifat al-sifat ber-arti pengetahuan bahwa Allah adalah dzat adalah zat yang hidup (hayy), maha mengetahui ('alim), maha berkuasa(qadir), maha mendengar(sami'), maha melihat (bashir) dan seterusnya dengan sifat-sifat yang lain.[8]
Yang tercakup dalam ma'rifat adalah empat hal yaitu mengetahui diri (nafs), mengetahui tuhan (rabb), mengetahui dunia, dan mengetahui akhirat. Diri diketahui dengan jalan beribadah, merendah (dzull), dan menjadi faqir (iftiqar).
Tuhan diketahui dengan kemulyaan, keagungan, dan kekuasaannya. Ia dapat diketahui juga dengan keberadaan hamba sebagai seorang asing di dunia, keberadaannya sebagai orang yang sedang melaku-kan perjalanan dari dunia ke akhirat, dan orang yang menjauhi syahwat-syahwat kebinatangan (bahimiyyah).[9]
Tingkatan ma'rifat, menurut al-Ghazali berjenjang sesuai dengan tingkatan iman seseorang. Karena itu, tingkatan ma'rifat dibagi menjadi tiga sesuai dengan tingkatan iman seseorang. Tiga tingkatan tersebut yaitu :

“Keimanan tingkat awal, imannya orang-orang awam, yakni iman dasar taklid.

Tingkat kedua, imannya para mutakallimin (teolog), atas dasar campuran (taklid) dengan sejenis dalil. Tingkatan ini masih dekat dengan golongan awam.

Tingkat ketiga, imannya para arifin (sufi) atas dasar pensaksian secara langsung dengan perantara nurul yaqin.(ihya’ ‘ulumuddin, III, hal. 15).[10]



[1] Abu al-Wafa al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, (Pustaka Bandung, 1974), hlm. 155

[2] Drs. Rosihon Anwar, M. Ag. dan Drs. Mukhtar Sholihin, M. Ag., Ilmu Tasawuf, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000), hlm. 109

[3] Ibid, hlm. 110

[4] Zainal Abidin Ahmad, Riwayat hidup Imam Al-Ghazali, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hlm. 75

[5] Harun Nasution, Filsafat dan Mistisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), hlm.78

[6] Ibid, hlm.77

[7] Doktor Usman Isa Syahin, Nadzriyyah al-Ma'rifat inda al-Ghazali, Tulisan dalam menyambut haflah dzikra mi'awiyah al-Ghazali , hlm.366-367

[8] Dr. Abdul Halim Mahmud, Al-Imam al-Ghazali wa Ma'rifat al-Ghaib, Tulisan dalam menyambut haflah dzikra mi'awiyah al--Ghazali


[9] Syaikh Dahlan al-Kediri, Siraj al-Thalibin 'ala Syarh Minhaj al-'Abidin li al-Imam al-Ghazali, Jilid I, Dar al-Fikr, Beirut, tt, hal. 88


[10] Dr. Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya Dalam Islam, (Jakarta: Rajawali Pers), hlm. 153

0 komentar:

Copyright © 2009 - AQFA fil BLOG - is proudly powered by Blogger
Smashing Magazine - Design Disease - Blog and Web - Dilectio Blogger Template