WAKAF TUNAI

1. Pengertian Wakaf Tunai

Saat ini telah disepakati oleh para ulama’ bahwa salah satu bentuk wakaf dapat berupa uang tunai. Secara umum defenisi wakaf tunai adalah penyerahan hak milik berupa uang tunai kepada seseorang atau nadzir dengan ketentuan bahwa hasil atau manfaatnya digunakan untuk hal-hal yang sesuai dengan ajaran syariat islam dengan tidak mengurangi ataupun menghilangkan jumlah pokoknya.[1]

Sedangkan menurut MUI,Wakaf Uang (Cash Wakaf/Waqf al-Nuqud) adalah wakaf yang dilakukan seseorang, kelompok orang, lembaga atau badan hukum dalam bentuk uang tunai. Termasuk ke dalam pengertian uang adalah surat-surat berharga.[2]

2. Wakaf dengan Uang

Hukum wakaf dengan uang tunai merupakan permasalahan yang di perdebatkan dikalangan fuqaha. Sebagian ulama’ merasa sulit menerima ketika ada diantara ulama’ yang berpendapat sah hukumnya mewakafkan uang dirham atau dinar. Dengan uang sebagai asset wakaf, maka pendayagunaannya dalam pengertian mempersewkannya akan terbentur dengan riba.

Adapun alasan ulama’ yang tidak membolehkan berwakaf dengan uang dengan alasan antara lain :

a. Bahwa uang bisa habis zatnya sekali pakai. Uang hanya bisa dimanfaatkan dengan membelanjakannya sehingga bendanya lenyap. Sedangkan inti ajaran wakaf adalah pada kesinambungan hasil dari modal dasar yang tetap kekal, tidak bisa habis sekali pakai. Oleh karena itu, ada persyaratan agar benda yang akan di wakafkan itu adalahbenda yang tahan lama, tidak habis di pakai.

b. Uang seperti dirham dan dinar diciptakan sebagai alat tukar yang memudahkan orang melakukan transaksi jual beli; bukan untuk di tarik manfaatnya dengan mempersewakan zatnya.[3]

Di kalangan Malikiyah popular pendapat yang membolehkan berwakaf dalam bentuk uang kontan seperti di lihat dalam kitab al-Majmu’ oleh Imam Nawawi(15/325) yang mengatakan :”dan para sahabat kita berbeda pendapat tentang wakaf dengan dirham dan dinar. Dan orang yang membolehkan mempersewakan dirham dan dinar membolehkan berwakaf dengannya dan yang tidak membolehkan mempersewakannya tidak membolehkan mewakafkannya”[4] . Wahbah Zuhaili dalam bukunnya al fiqh al islam wa adillatuhu :169, menyatakan bahwa mazhab Maliki membolehkan wakaf makanan, uang dan benda bergerak lainnya[5].Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Al-Fatwa(31/234-235), meriwayatkan satu pendapat dari kalangan Hanabilah(Hanafiyah) yang membolehkan berwakaf dalam bentuk uang,dan hal yang sama dikatakan pula oleh Ibnu Qudamah dalam bukunya al-Mughni(8/229-230)[6]

Pendapat imam al-Zuhri (w.124 H) bahwa mewakafkan dinar (mata uang) hukumnya boleh, dengan cara menjadikan dinar tersebut sebagai modal usaha kemudian keuntungannya disalurkan pada mauquf ‘alaih.[7] Sebagian ulama Mazhab Syafi’iy juga membolehkan wakaf tunai sebagaimana yang disebut Al-Mawardy, ”Abu Tsaur meriwayatkan dari Imam Syafi’iy tentang kebolehan wakaf dinar dan dirham”

Di Indonesia,MUI (Majlis Ulama’ Indonesia) memperbolehkan wakaf tunai/uang melelui fatwa MUI pada tanggal 11 Mei 2002. Isi fatwa MUI tersebut sebagai beikut :

1. Wakaf uang (cash wakaf/ waqf al-nuqud) adalah wakaf yang dilakukan seseorang, kelompok orang, lenmbaga atau badan hukum dalam bentuk uang tunai.

2. Termasuk ke dalam pengertian uang adalah surat-surat berharga.

3. Waqaf uang hukumnya jawaz (boleh)

4. Wakaf uang hanya boleh disalurkan dan digunakan untuk hal-hal yang dibolehkan secara syar’iy. Nilai pokok wakaf uang harus dijamin kelestariannya, tidak boleh dijual, dihibahkan dan atau diwariskan.[8]

3. Ibdal dan Istibdal (Penggantian benda wakaf)

Ibdal adalah menjual barang wakaf untuk membeli barang lain sebagai gantinya. Sedangkan Istibdal adalah menjadikan barang lain sebagai barang pengganti wakaf asli yang telah di jual.[9]

Pendapat para ulama’ tentang penggantian benda wakaf antara lain :

a. Mazhab Hanafiah. Ibdal(penukaran) dan istibdal(penggantian) adalah boleh. Menurut mereka, ibdal (penukaran) boleh dilakukan oleh siapapun, baik waqif sendiri, orang lain maupun hakim tanpa menilik jenis barang yang diwaqafkan, apakah berupa tanah yang di huni , tidak di huni, bergerak maupun tidak bergerak.

b. Mazhab Malikiyah. Pada prinsipnya para ulama’ Malikiyah melarang keras penggantian barang wakaf, namun mereka tetap memperbolehkannya pada kasus tertentu dengan membedakan barang wakaf yang bergerak da tidak bergerak.

a. Mengganti barang wakaf yang bergerak

Kebanyakan fuqaha’ mazhab Maliki memperbolehkan penggantian benda wakaf yang bergerak dengan mempertimbangkan kemaslahatan. Pendapat ini termasyhur dalam riwayat Imam Malik. Untuk mengganti barang wakaf yang bergerak, ulama’Malikiyah mensyaratkan bahwa barang tersebut harus tidak dapat dimanfaatkan lagi.

b. Mengganti barang wakaf yang tidak bergerak

Para ulama’ Malikyah dengan tegas melarang penggantian barang wakaf yang tidak bergerak, kecuali dalam keadaan darurat yang sangat jarang terjadi. Misalnya masjid, ulamaMalikiyah berpendapat bahwa penjualan masjid yang diwakafkan muthlak di larang.

c. Mazhab Syafi’i. Dalam masalah penggantian barang wakaf, kalangan ulama’ Syafi’iyah di kenel lebih hati-hati di banding ulama’ mazhab lain, hingga terkesan seolah-olah mereka mutlak melarang istibdal dalam kondisi apapun. Namun, dengan ekstra hati-hati mereka tetap membahas masalah ini.[10] Akan tetapi, pada ulama’ Syafi’iyah sendiri terdapat perbedaan pendapat yang secara garis besar dapat diklasifikasikan dalam dua kelompok. Kelompok pertama melarang penjualan barang wakaf atau menggantinya. Sebaliknya, barang itu harus dibiarkan diambil manfa’atnya sampai habis. Sedangkan kelompok keduamemperbolehkan penjualan barang wakaf dengan alasan tidak mungkin dimanfa’atkan seperti yang dikehendaki waqif.

d. Mazhab Hambali. Sebagaimana ulama’ Malikiyah, dalam masalah boleh tidaknya penggantian benda wakaf, ulama’ Hambali tidak membedakan antara barang bergerak dan tidak bergerak. Bahkan mereka mengambil dalil hukum penggantian benda tak bergerak dari dalil yang mereka gunakan untuk menentukan hukum penggantian benda bergerak.[11]Menurut prinsip mereka hukum asal penjualan barang wakaf adalah haram tetapi hal itu diperbolehkan dalam kondisi darurat dengan tetap mempertimbangkan kemaslahatan demi menjaga tujuan wakaf yaitu agar barang wakaf dapat dimanfaatkan oleh umat.

e. Mazhab Syi’ah Ja’fariyah. Seperti halnya ulama’ Syafi’iyah yang sangat hati-hati dalam membolehkan penggantian barang wakaf, ulama’ Ja’fariyah berpegang pada prinsip bahwa hukum asal menjual barang wakaf adalah haram.



[1] Biro Perbankan Syari’ah BI 2001, ‘Peranan Perbankan Syari’ah dalam Wakaf Tunai (Sebuah Kajian Konseptual)’ dalam WAKAF TUNAI Inovasi Finansial Islam, (Jakarta : PSTTI-UI,2006), hlm.97

[2] Keputusan fatwa MUI(tentang wakaf uang) pada tanggal 11 Mei 2002.

[3] Biro Perbankan Syari’ah BI 2001, op.cit, hlm.98

[4] Ibid, hlm. 99

[5] Pedoman Pengelolaan dan Pengembangan Wakaf, (Jakarta : Depag RI,2006), hlm.44

[6] Biro Perbankan Syari’ah BI 2001, op.cit, hlm.99

[7] Lihat Abu su’ud Muhammad, Risalah fi Jawazi Waqf al-Nuqud, (Beirut: Dar Ibnu-Hazm, 1997), hlm. 20-21

[8] Keputusan fatwa MUI(tentang wakaf uang) pada tanggal 11 Mei 2002.

[9] Dr. Muhammad Abid Abdullah Al-Kasibi, Hukum Wakaf, (Depok: Iman Press,2004) hlm.349

[10] Ibid, hlm.371

[11] Ibid, hlm.375

0 komentar:

Copyright © 2009 - AQFA fil BLOG - is proudly powered by Blogger
Smashing Magazine - Design Disease - Blog and Web - Dilectio Blogger Template